Bagaimana Algoritma Mengubah Cara Kita Berteman

Media Sosial8 Dilihat

Kita hidup di zaman ketika pertemanan tidak lagi sepenuhnya lahir dari obrolan panjang, momen canggung di awal perkenalan, atau interaksi sehari-hari yang perlahan tumbuh menjadi relasi yang berarti. Kini, ada “pihak ketiga” yang ikut menentukan siapa yang masuk dan keluar dari lingkaran sosial kita: algoritma.

Awalnya teknologi hanya berfungsi sebagai alat bantu—penghubung yang memudahkan kita mengenal lebih banyak orang. Namun lama-kelamaan, ia berubah menjadi semacam kurator sosial yang diam-diam membuat keputusan untuk kita: siapa yang sering muncul di timeline, siapa yang jarang terlihat, siapa yang tampaknya “cocok” dengan kita, hingga siapa yang bahkan tidak diberi kesempatan untuk dikenal.

Pertanyaannya, apakah kita masih benar-benar membangun hubungan secara alami, atau kita hanya mengikuti jalur sosial yang disusun oleh sistem yang tidak pernah kita lihat?


Pertemanan yang Tersaring, Bukan Terjadi Secara Alami

Dulu, pertemanan tumbuh dari keseringan bertemu: tempat kerja, kampus, warung kopi langganan, atau lingkungan sekitar. Kita berteman dengan siapa saja yang kebetulan muncul dalam hidup kita. Tetapi di era digital, kontak pertama banyak terjadi di ruang yang sudah terkurasi.

Media sosial tidak menunjukkan semua orang secara setara. Ada yang ditampilkan berkali-kali hingga terasa dekat, ada pula yang menghilang dari radar begitu saja. Bukan karena mereka menjauh, tetapi karena algoritma memutuskan bahwa kita “kurang relevan” satu sama lain.

Bayangkan seperti ini: dari ratusan teman di daftar kontak, kita mungkin hanya melihat postingan dari 20–30 orang yang sama. Dari sanalah kesan “kedekatan” itu dibentuk—padahal kedekatan itu sebenarnya hasil keputusan sistem, bukan keputusan kita sendiri.

Dalam jangka panjang, ini menggeser cara kita memahami siapa yang benar-benar menjadi bagian dari hidup kita.


Filter Bubble yang Mengunci Kita dalam Lingkaran Serupa

Algoritma bekerja berdasarkan apa yang kita “sukai” dan “interaksi”. Semakin sering kita menyukai konten tertentu, semakin banyak pula konten serupa yang ditampilkan kembali. Masalahnya, ini tidak hanya terjadi pada konten—tapi juga manusia.

Kita akhirnya dikelilingi oleh orang-orang yang mirip dengan kita: cara berpikirnya, gaya hidupnya, opininya, hingga preferensi hiburannya. Keberagaman yang dulu hadir secara alami dalam interaksi sosial offline kini mengecil di ruang digital. Kita bergaul dengan versi “kita” yang lain—dalam jumlah banyak.

Efeknya jauh lebih besar dari sekadar timeline yang monoton. Ia membuat kita:

  • Mengira dunia lebih kecil dari kenyataannya, karena hanya berisi orang-orang yang setuju dengan kita.

  • Kurang toleran terhadap perbedaan, karena jarang bersentuhan dengan perspektif baru.

  • Tersesat dalam bias yang kita bentuk sendiri, tanpa kita sadari.

Pertemanan pun menjadi homogen. Aman, nyaman, tapi sempit.


Kedekatan yang Terbentuk dari Angka

Di media sosial, interaksi diukur: like, komentar, mention, DM, tag, dan sebagainya. Semua ini menjadi indikator yang digunakan algoritma untuk menentukan siapa “teman penting” dalam hidup kita.

Bayangkan betapa sempitnya definisi kedekatan ketika ia dinilai berdasarkan seberapa sering kita bermain jempol di layar.

Padahal, dalam kehidupan nyata, ada teman yang jarang muncul tetapi tetap penting. Ada juga orang yang sering berinteraksi karena faktor kebiasaan, bukan kedekatan emosional.

Namun, algoritma tidak mengenali konteks. Ia hanya membaca pola angka. Akibatnya:

  • Teman lama yang sebenarnya dekat bisa saja tenggelam dari pandangan.

  • Orang baru yang sering muncul terasa lebih penting dari yang sebenarnya.

  • Kita memprioritaskan hubungan yang aktif secara digital, bukan yang bermakna secara emosional.

Pertemanan kita perlahan digeser dari “siapa yang berarti” menjadi “siapa yang sering muncul”.


Saat Pertemanan Menjadi Performatif

Di dunia yang algoritmik, kita belajar bahwa aktivitas sosial yang “terlihat” akan lebih dihargai daripada yang tidak terlihat. Ada dorongan halus untuk membuktikan kedekatan lewat konten:

  • foto bareng,

  • komentar lucu,

  • postingan ucapan ulang tahun,

  • repost story,

  • mention dalam challenge.

Pertemanan menjadi semacam pertunjukan. Kita menampilkan kedekatan, bukan hanya merasakannya.

Fenomena ini melahirkan standar sosial baru: semakin aktif kamu menunjukkan hubungan, semakin “terlihat” kedekatannya. Tanpa sadar, algoritma mendorong kita untuk melakukan lebih banyak agar tetap relevan—bukan dengan diri sendiri, tapi dengan sistem.

Pada akhirnya, relasi sosial tidak lagi hanya tentang manusia dengan manusia, tetapi manusia dengan platform yang mengatur bagaimana hubungan itu ditampilkan.


Algoritma Membantu, Tapi Juga Mengurung

Tentu saja teknologi tidak hanya membawa efek negatif. Banyak hubungan yang tumbuh justru berkat algoritma: teman lama yang reconnect, koneksi profesional baru, atau komunitas yang kita tidak tahu sebelumnya.

Namun, pertanyaannya bukan tentang “baik atau buruk”. Pertanyaannya adalah:

Apakah kita masih mengendalikan cara kita berteman, atau kita hanya mengikuti jalur yang disediakan?

Ketika algoritma memutuskan siapa yang “paling relevan”, kita sebenarnya sedang diarahkan tanpa kita sadari. Bukan hanya pada konten yang kita lihat, tapi pada hubungan yang kita bangun.


Mengambil Kembali Kendali atas Lingkaran Sosial Kita

Di tengah arus otomatisasi sosial ini, ada beberapa hal sederhana yang bisa membuat kita lebih sadar:

  • Kunjungi profil orang yang lama tidak muncul, bukan menunggu tampil di timeline.

  • Interaksi secara sengaja, bukan hanya mengikuti siapa yang muncul.

  • Jangan hanya berteman dengan mereka yang mirip, ruang sosial yang sehat membutuhkan perbedaan.

  • Ingat bahwa kedekatan tidak selalu harus terlihat, beberapa hubungan paling penting justru tenang.

Karena pada akhirnya, teknologi adalah alat—bukan penentu hidup.

Pertemanan yang berarti tetap membutuhkan sesuatu yang tidak dimiliki algoritma:
niat, perhatian, dan kemauan untuk hadir, meski tidak selalu muncul di layar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed